LEGENDA TAPAKTUAN
Legenda Tapaktuan merupakan salah satu cerita legenda masyarakat
Tapak Tuan di Aceh Selatan. Cerita ini mengisahkan asal usul sejumlah nama di
kecamatan dalam Kabupaten Aceh Selatan dan asal usul nama Tapaktuan yang
dibuktikan dengan peninggalan-peninggalan yang hingga sekarang masih dapat kita
saksikan seperti kuburan dan Jejak kaki Tuan Tapa, batu merah dan batu itam.
Di
dalam cerita itu dikisahkan perjalanan hidup Tuan Tapa, seorang pertapa yang
sangat taat kepada Allah. Karena ketaatannya, Tuan Tapa dapat mengetahui
hal-hal gaib yang tidak diketahui manusia biasa.
Kisah
ini menceritakan tentang perebutan sepasang Naga (Jantan dan Betina) dengan
orang tua sang putri. Legenda klasik ini terus merakyat di Tapaktuan. Secara
turun temurun, legenda itu terus berkembang. Bahkan remaja yang hidup di zaman
modern ini, di Tapaktuan juga mengetahui cerita ini.
Sebenarnya,
Legenda ini memiliki alur cerita yang sama. Namun, hanya saja cara
penyampaiannya yang berbeda-beda. Yang pasti dalam semua cerita yang
disampaikan tokoh adat atau masyarakat biasa tentang legenda ini tak terlepas
tiga hal, yaitu ada Dua ekor Naga, Tuan Tapa. Putri Bungsu. Dan Lalu, adanya
pertempuran itu. Semoga pesan moral dari legenda ini, bermanfaat bagi sobat
pembaca.
Alkisah,
seperti hari-hari sebelumnya, kedua naga itu kembali berenang ke laut mencari
makan, sekarang mereka pergi ke barat. Mereka meluncur menyusuri kawasan pinggir
pantai menuju ke daerah barat. Mereka membelah ombak lautan yang
bergulung-gulung. “Hari ini ombak agak besar, suamiku! ",
Seru Naga Betina. “Tidak mengapa, istriku. Kita perlu
melihat-lihat daerah baru. Mungkin di daerah itu kita akan melihat hal-hal yang
aneh seperti yang kita saksikan di daerah timur,”,
kata Naga Jantan.
Setelah
kedua naga berenang beberapa saat, mereka melihat sekelompok udang besar yang
sedang berenang menuju ke muara sungai. “Cepat, suamiku! Ayo
kita kejar sekelompok udang besar itu!”, seru Naga Betina. Kedua
naga itu berenang semakin cepat. Setelah dekat dengan kelompok udang,
dihirupnya air laut kuat-kuat sehingga seluruh udang masuk ke dalam perut
mereka. Hingga sekarang, tempat itu disebut Desa Air Berudang dan termasuk salah
satu desa di Kecamatan tapaktuan.
Suatu
ketika sepasang naga sedang berjalan-jalan menyusuri lautan yang bergelombang.
Si Naga jantan tiba-tiba berhenti, tertegun memperhatikan sebuah titik hitam di
tengah laut. Titik hitam itu menarik perhatiannya. Lamat-lamat titik hitam itu
mendekat ke arah sang naga. Gelombang laut yang membawanya mendekat. Si Naga
Jantan dan Betina terus memperhatikan titik hitam itu.
Dari
tengah lautan, mereka mendengar suara tangis bayi. Suara tangis itu semakin
lama semakin keras dan jelas. “Oh, suara itu seperti
datang dari tengah laut, Suamiku. Ayo, kita berenang ke sana!”,
seru Naga Betina. Sang Naga terjun alang kepalang. Titik hitam itu adalah
sesosok bayi manusia yang menangis keras, diombang-ambingkan gelombang di dalam
sebuah ayunan yang terbuat dari anyaman rotan. Anehnya, ayunan rotan itu tidak
kemasukan air. “Padahal anyaman ayunan rotan ini jarang-jarang,
tapi kok tidak kemasukan air, ya? Kalau begitu, bayi ini pasti bukan bayi
sembarangan,”, kata Naga Betina.
Pasangan
Naga ini sangat senang mendapatkan putri berbentuk manusia. Konon naga itu
memang sudah lama mengidam-idamkan seorang putri. Kedua Naga itu sangat
menyanyangi putri pungut mereka. Bahkan, Naga betina selalu memeluk putri kecil
dalam cengkeramnya agar tidak hilang. Demikianlah, waktu terus berganti. Dari
hari ke hari, bayi itu terus tumbuh normal dan sehat sebagaimana bayi manusia
lainnya. Putri kecil tersebut diberi nama Putri Bungsu. Mereka sangat mengasihi
putri ini.
Bahkan
Naga Jantan menciptakan tempat bermain nan indah di gunung itu. Semua
buah-buahan dan minuman tersedia disana. Semua itu dilakukan agar Putri Bungsu
betah tinggal bersama mereka. Putri inilah yang kemudian disebut sebagai Putri
Naga.
Pada
suatu hari, kedua naga itu membawa putri kesayangan mereka pergi berjalan-jalan
menikmati pemandangan daerah Teluk yang indah mempesona. Sang Putri dinaikkan
ke punggung Naga Jantan yang telah siap mengarungi kawasan pantai Teluk. Naga
Betina berenang mengiringi dari belakang. Sang Naga betina itu sangat cemas
jika putri cantik rupawan itu terjatuh dari punggung naga dan tenggelam. “Hati-hati,
sang Naga! Jangan berenang terlalu kencang! Nanti sang Putri jatuh dari
punggungmu! Pegang kuat-kuat sirip
naga, Putri! Saya sangat mencemaskan sang Putri!”
teriak sang betina lagi mengingatkan sang Putri. Diam-diam sang Putri
melontarkan rasa kekagumannya. Ia senang melihat keindahan alam pantai Teluk
yang masih asri. Demikianlah keadaan sang Putri, ia terhibur selalu dengan
sikap kedua naga itu.
Waktu
terus bergulir, Putri Bungsu pun merangkak remaja. Dia menetap bersama naga
disebuah gua yang dalam. Suatu hari, sang Putri Bungsu secara tak sengaja
mendengar obrolan sepasang Naga. Dari luar gua dia terus menyimak percakapan
itu. Dia tersentak. Sadar, bahwa dirinya bukan keturunan naga. Dia memiliki
orang tua yang juga berasal dari bangsa manusia. Niat untuk melarikan diripun
muncul dalam benaknya. Putri Bungsu tidak gegabah. Dia bersabar untuk menemukan
waktu yang tepat melarikan diri dari gunung itu. Dia takut akan kesaktian kedua
naga tersebut.
Waktu
yang dinantikan pun tiba. Dari atas gunung, Putri Bungsu melihat sebuah kapal
berlayar dibawah kaki gunung itu. Gunung ini memang tepat berada di depan laut.
Naga Jantan kala itu sedang tertidur dipinggir laut. Perlahan dia mengangkat
kaki, sedikit menjinjing agar langkahnya tidak didengar Naga Jantan. Perahu
layar semakin dekat. Dia bimbang. Teringat akan kesaktian naga tersebut. Jarak
Naga Jantan beristirahat dengan laut sangat dekat. Khawatir ketahuan, diapun
mengurungkan niat untuk kabur dari gunung itu.
Siang-malam
Putri nan cantik jelita itu mencari akal. Ide cemerlang pun muncul di kepalanya.
Satu dia mengajak pasangan Naga berjalan-jalan menyusuri pantai di pulau itu.
Naga kelelahan dan tertidur pulas. Putri Bungsu tak menyianyiakan kesempatan
emas itu. Kakinya diseret ke atas sebuah bukit kecil yang dekat dengan laut.
Agar dia bisa melihat perahu yang melintas. Jarang sekali perahu yang mahu
mendekat ke pulau itu. Namun hari itu keberuntungan Putri Naga. Sebuah perahu
kecil merapat. Dia melambaikan tangan. Awak perahu ada yang menyapanya.
Perahu
itulah yang membawa putri bungsu pergi, Putri bungsu naik ke atas kapal dan
ikut bersama awak kapal itu. Naga yang baru terbangun dari tidur, terkejut
setengah mati. Putri kesanyangannya telah pergi. Dalam benaknya, Naga
berujar, pasti perahu itu yang melarikan putriku. Dia mengejar
perahu yang berjalan sangat pelan itu.Sepasang Naga itu mengejar perahu
tersebut. Sementara itu, di Gua Kalam, tidak jauh dari bukit itu, seorang
manusia sedang bertapa. Dia tersentak dari pertapaanya. Seakan dia sadar akan
ada bencana besar dibumi. Inilah Tuan Tapa.
Dia
keluar dari gua tersebut. Lalu menatap ke laut lepas. Terlihat sepasang Naga
dengan kemarahan puncak sedang mengejar sebuah perahu nelayan. Tuan Tapa
terkenal dengan tongkat saktinya. Hal itu menyebabkan terjadinya pertarungan
sengit antara kedua naga dengan Tuan Tapa. Mereka bertarung untuk memperebutkan
bayi yang kini telah menjadi seorang putri yang cantik yang diberi nama Putri Bungsu.
Ketika
Naga Jantan melancarkan serangan berikutnya, Tuan Tapa menyambut dengan libasan
tongkatnya. Tubuh naga pun terpelanting ke udara dan jatuh berkeping-keping di
pantai. Darah dari tubuh naga jantan yang hancur itu tumpah kemana-mana dan
memerahkan tanah, bebatuan dan lautan. Naga Betina pun mulai menyerang Tuan
Tapa, Namun serangan itu dapat dipatahkan oleh Tuan Tapa, meskipun tongkat dan
topi Tuan Tapa sempat tercampak ke laut, dan hingga sekarang tongkat dan topi
itu masih ada dan telah menjadi batu yang terdapat di kawasan pantai Tapaktuan.
Sementara Naga Betina yang hendak melarikan Putri Bungsu gagal. Malah hewan itu
mengamuk sambil melarikan diri ke negeri Cina.
Dalam
pelariannya itulah Naga Betina membelah sebuah pulau di kawasan Bakongan hinga
menjadi dua bagian, dan hingga sekarang pulau itu bernama Pulau Dua.
Bahkan hewan itu mengamuk sambil memporak porandakan sebuah pulau. Pulau itu
terpecah-pecah hingga 99 buah. Itulah hingga kini disebut Pulau banyak yang
terdapat di Kabupaten Aceh Singkil.
Akhirnya
Tuan Tapa berhasil mengalahkan kedua naga tersebut. Sang Putri pun dapat
kembali bersama orang tuanya, tetapi keluarga itu tidak kembali ke Kerajaan
Asralanoka. Mereka memilih menetap di Aceh. Keberadaan mereka di Tanah Aceh
diyakini sebagai cikal bakal masyarakat Tapaktuan.
Setelah
kejadian itu, Tuan Tapa sakit. Seminggu kemudian Tuan Tapa meninggal dunia pada
Bulan Ramadhan Tahun 4 Hijriyah . Jasadnya dikuburkan di dekat Gunung Lampu,
tepatnya di depan Mesjid Tuo Kelurahan Padang, Kecamatan Tapaktuan, dan hingga
sekarang makam manusia keramat itu masih bisa kita saksikan hingga saat ini. Hingga
sekarang bekas tubuh naga yang berupa gumpalan darah itu masih dapat kita lihat
di pantai berupa tanah dan batu yang memerah. Kini disebut dengan Tanah Merah.
Batu Merah, sekitar tiga kilometer dari kota Tapaktuan. Kini gumpalan darah dan
hati tersebut telah mengeras menjadi batu.
Sedangkan
hati sang Naga, yang pecah dan terlempar menjadi beberapa bagian akibat pukulan
tongkat sakti Tuan Tapa, peninggalannya hingga sekarang masih terlihat berupa
batu-batu berwarna hitam berbentuk hati. Daerah ini kemudian diberi nama Desa
Batu Hitam, masih dikecamatan yang sama.
Pada
waktu Tuan Tapa hendak membunuh sang naga, terjadi kejar-kejaran antara Tuanku
Tapa dan sang naga. Maka pada suatu ketika, berbekaslah tapak kaki Tuan Tapa
ini. Sekarang yang masih terlihat hanya sepasang telapak kaki sangat berjauhan,
di batasi oleh gunung tempat naga tinggal sebelumnya. Jejak tapak kaki
tersebut, seperti jejak seseorang yang melangkahi gunung, karena tak dapat
ditemukan jejak yang sama di antara kedua jejak tersebut. Ukuran jejak kaki
tersebut adalah 3 x 1,5 meter. Jejak kaki yang sebelah kanan, berada di pinggir
laut diatas sebuah batu. Sedangkan jejak kaki sebelah kiri berada di dalam kota
di atas tanah. Antara jejak satu dan yang satunya lagi lebih kurang berjarak
500 meter. Diberilah nama daerah yang terdapat jejak "Tapak Tuan Tapa"
itu dengan nama kota "Tapak Tuan", atau juga sering disebut
"Kota Naga Tapak Tuan".
Di
tempat pertempuran Naga dan Tuan Tapa, masih meninggalkan jejak berupa tongkat.
Tongkat mirip baru itu, dipercayai sebagai tongkat Tuan Tapa. Lalu, bagaimana
nasib sang Putri? Beberapa tokoh masyarakat di daerah itu menceritakan, dalam
legenda tersebut dikisahkan sang Putri akhirnya kembali hidup normal layaknya
manusia dan hidup bahagia bersama kedua orangtuanya. Putri Bungsu kemudian
mendapat julukan sebagai ‘Putri Naga’. Karena kisah ini pula, orang
menyebutkan Aceh Selatan sebagai Kota Naga. Bahkan, jika memasuki kota
Tapaktuan pemerintah Daerah Aceh Selatan mengukir gambar naga tepat di dinding
pinggir jalan. Sekitar seratus meter dari arah timur kantor Bupati Aceh
Selatan.
Demikianlah
kisah Cerita Legenda Tapaktuan ini saya sampaikan apa adanya, dan mari kita
ingat bahwa segala sesuatu yang sifatnya legenda adalah dongeng belaka tapi
bila kita baca semua alur cerita legenda ini dalam Buku Legenda Tapaktuan yang
ditulis oleh Darul Qutni Ch ini banyak mengandung pendidikan dan budi pekerti
yang tidak menyimpang dari aqidah agama Islam yang mulia dan tercinta itu,
serta tidak akan membuat pembaca menjadi syirik dan sesat. Jika kita pergi ke
Tapak Tuan Aceh Selatan, tapi belum mengunjungi area tapak kaki tersebut, maka
seolah-olah kita belum sampai ke Tapak Tuan. Dan di dukung dengan panorama alam
yang sangat luar biasa, Tahukan anda, bahwa Tapak Tuan merupakan salah satu
Kota terindah di Sumatera. Jadi, bagi yang penasaran, Silakan langkahkan kaki
anda ke sana ...!!
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=3373145104833&set=pcb.3373153625046&type=1&theater
BalasHapus