Asal
Usul Raja-Raja Aceh
Kita
ketahui, bahwa Islam yang masuk ke Nusantara masih banyak bersilang pendapat
dari para ahli sejarah. Pendapat tersebut masing-masing di didukung oleh T.W.
Arnold, Sayed Naquib Al-Attas dan Prof. Hamka yang mendukung bahwa Islam datang
ke Indonesia pada abad ke-7 Masehi (1 Hijriyah), namun pendapat lain seperti
Snouck Hurgronje, J.P. Moquette dan R.A. Kern yang menyatakan Islam baru datang
ke Nusantara pada abad ke-13 dan bukan langsung dari Arab melainkan dari
Gujarat.
Teori-teori
yang digunakan oleh para ahli sejarah ini pun dengan pendekatan yang tidak
lepas dari faktor ekonomi (pelayaran dan perdagangan), sosial budaya
(perkawinan dan seni) serta politik. Ada tiga kerajaan Islam terbesar yang
sangat berpengaruh di Aceh, diantara Kerajaan Islam Perlak, Kerajaan Islam
Samudra Pasai dan Kerajaan Islam Aceh Darussalam.
Selain
tiga kerajaan Islam terbesar tersebut, terdapat juga kerajaan-kerajaan Islam
lainnya yang tersebar di Isak, Bireuen, Samalanga, Meureudu, Lingga Gayo,
Tamiang, Lamuri, Pidie dan lain sebagainya. Raja-raja yang memerintah pada
kerajaan-kerajaan Islam Aceh bila dirunut akan ditemukan tiga figur penting,
yakni Mayang Seludang, Maharaj Syahriar Salman dan Sayid
Ali Muktabar.
Mayang
Seludang adalah puteri dari penguasa Negeri Jeumpa (Bireuen) yang
leluhurnya berasal dari Indo Cina, menurut satu riwayat mengatakan bahwa
penguasa Jeumpa berdarah campuran lokal dan Indo Cina, karena beberapa abad
sebelumnya penguasa Jeumpa menikah dengan seorang puteri Indo Cina dan
keturunannya menjadi penguasa Jeumpa.
Maharaj
Syahrian Salman adalah keluarga bangsawan dari Dinasti
Sasanid Persia. Salman yang menjadi panggilannya merupakan seorang pangeran
dari Istana Persia, ia berasal dari keluarga kerajaan Persia yang pernah
berjaya antara tahun 224 sampai tahun 551 M. (H. Awang Muhammad Jamil
Al-Sufri, Tarsilah Brunai, 1990 hal 73).
Salman
beserta rombongan melakukan perjalanan ke Asia Tenggara untuk menuju ke Selat
Malaka, namun sebelum sampai ke sana, Pangeran Salman singgah di negeri Jeumpa
dan akhirnya menikah dengan puteri Istana Jeumpa yang bernama Mayang Seludang.
Pangeran Salman pun tidak meneruskan perjalanan dengan rombongannya ke Selat
Malaka, malah sebaliknya ia hijrah ke Perlak setelah mendapat izin dari
mertuanya Meurah Jeumpa. Pangeran Salman dan puteri Mayang Selundang
dianugerahi empat orang putera dan seorang puteri. Mereka adalah Syahir
Nuwi (Meurah Fu) yang menggantikan ayahnya menjadi penguasa Perlak
dengan gelar Meurah Syahir Nuwi, kemudian Syahir Dauli pergi
merantau ke negeri Indra Purba (Aceh Besar), sedangkan Syahir
Pauli menrantau ke negeri Samaindera (Pidie) dan Syahir Tanwi kembali
ke negeri ibunya di Jeumpa dan kemudian di angkat menjadi Meurah Negeri Jeumpa
menggantikan kakeknya. Keempat putera Maharaj Syahrian Salman sering dikenal
dengan kaum imam empat (kawom imum peuet) atau penguasa empat.
Sementara
puteri mereka Tansyir Dewi menikah dengan seorang sayid
keturunan Arab yang bernama Sayid Maulana Ali al-Muktabar, selain sayid ada
juga yang orang Arab lainnya dari Bani Hasyim dan juga keturunan Rasulullah
lainnya yang datang ke Perlak dalam rangka menyiarkan agama Islam dan kemudian
mereka berbaur dengan masyarakat setempat terutama dengan keluarga Meurah
seperit Syarifah Azizah yang menikah dengan Sultan Perlak ke-11 Sultan Makhdum
Alaiddin Malik Abadullah Syah Johan Berdaulat.
Sayid
Ali Muktabar bin Muhammad Dibai bin Imam Jakfar al-Shadiq merupakan
salah satu keturunan dari Ali bin Abi Thalib, Muhammad bin Jakfar al-Shadiq
adalah imam Syiah ke-6 yang juga masih keturunan Rasulullah SAW melalui anaknya
Nabi bernama Siti Fatimah yang memegang pemerintahan pusat di Baghdad. Adapun
silsilahnya sampai ke Rasulullah yaitu: Muhammad bin Ja’far al-Shadiq
bin Muhammad al-Baqir bin Ali Muhammad Zain al-Abidin bin Sayidina Husain
al-Syahid bin Fatimah binti Muhammad Rasulullah SAW.
Silsilah
Dinasti Syarief Jamalul Alam (1)
Sebelumnya,
dinasti Umayah dan Abasiyah sangat menentang aliran Syiah yang dipimpin oleh
Ali bin Ali Abu Thalib, tidak heran pada masa dua dinasti tersebut tidak
mendapatkan tempat yang aman dan selalu di ditindas karena jumlah minoritas,
sehingga banyak dari penganut Syiah menyingkir dari wilayah yang dikuasai oleh
dua dinasti tersebut. Pada masa pemerintahan Khalifah Makmun bin Harun
al-Rasyid (167-219 H/813-833 M) akhirnya mengirim pasukannya ke Mekkah untuk
meredakan ketegangan kaum Syiah itu, Khalifah Makmun memutuskan kepada Muhammad
bin Jakfar al-Shadiq untuk hijrah dan menyebarkan Islam ke Hindi, Asia Tenggara
dan sekitarnya.
Dari
hijrah tersebut, berangkatlah satu kapal yang memuat rombongan angkatan dakwah
termasuk di dalamnya Sayid Ali Muktabar. Menurut kitab Idharul Haq fi
Mamlakat al-Perlak yang ditulis oleh Syekh Ishak Makarani al-Pasi pada
tahun 173 H (800 M) Bandar Perlak disinggahi oleh satu kapal yang membawa
kurang lebih 100 orang da’i yang terdiri dari orang-orang Arab suku Qurasy,
Palestina, Persia dan India dibawah Nakhoda Khalifah dengan menyamar menjadi
pedagang.
Rombongan
Nakhoda Khalifah ini disambut oleh penduduk dan penguasa negeri Perlak yakni
pada masa Meurah Syahir Nuwi. Pada masa itu pula, Meurah Syahir Nuwi menjadi
raja pertama yang menganut Islam di Perlak. Sayid Ali Muktabar sendiri kemudian
menikah dengan adik Syahir Nuwi yang bernama puteri Tansyir Dewi yang
kemudian mereka dianugerahi seorang putra bernama Sayid Maulana Abdul
Aziz Syah. Saat Sayid Maulana Abdul Aziz Syah dewasa, akhirnya dinobatkan
menjadi Sultan Pertama Kerajaan Islam Perlak bertepatan pada tanggal 1 Muharram
225 H dengan gelarnya Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah yang
silsilahnya sebagai berikut seperti yang ditulis oleh T. Syahbuddin Razi: Sultan
Alaiddin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah bin Sayid Ali al-Muktabar bin Sayid
Muhammad Diba’i bin Imam Ja’far Asshadiq bin Imam Muhammad al-Baqir bin
Sayidina Ali Muhammad Zain al-Abidin bin Sayidina Husain al-Syahid bin Sayidina
Ali bin Abu Thalib.
Tentang
Raja Bakoy
Nama
aslinya Ahmad Permala, dia merupakan tokoh dari aliran Wujudiyah di Samudra
Pasai. Raja Bakoy juga merupakan sahabat karib dengan Syekh Abdul Jalil (Syekh
Siti Jenar). Ahmad Permala sempat menjadi “Mangkubumi” dengan gelar Maharaja
Bakoy Ahmad Permala setelah Sultanah Nahrisyah Malikul Zahir mangkat
pada hari senin tanggal 17 Dzulhijjah 831 H (1428 M) dan dikebumikan di dekat
makam suaminya.
Aliran
yang dibawa oleh Raja Bakoy berlawanan dengan aliran ahlusunnah wal jama’ah,
bahkan ia pernah diperingatkan oleh ulama agar tidak mengawini puterinya
sendiri, namun malah menentang dan membunuh 40 ulama. Ahmad Permala akhirnya
mati dibunuh oleh Malik Musthafa yang bergelar Pocut Cindan Simpul Alam, suami
dari Ratu Nahrisyah dengan bantuan dari Sultan Mahmud Alaiddin Johan Syah dari
Kerajaan Aceh (1409-1465 M).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar