Mencari Kepala Cut Ali
“Saya di sini dengan 80 pasukan, dan kalau Tuan tidak datang dengan 120 serdadu, lebih baik di rumah saja!”
LELAKI itu terkenal dengan selera humor yang tinggi. Acap kali, saat berada di tengah-tengah masyarakat Aceh ketika melawan Belanda, ia berujar, “Ho ka kompeuni?” ‘di mana kau kompeni?’ sembari berdiri berkacak pinggang.
Pernyataan dan perilaku mbong ‘bangga’ dibuat-buat serupa ini sering membuat pasukan Aceh tertawa, tapi terkadang juga mereka suka meniru gaya lelaki tersebut. Lelaki yang dikenal dengan “Teuku Cut Ali” ini menjadi mualim bagi masyarakat Aceh, terutama yang mendiami wilayah pantai selatan, dalam melawan Belanda. Ia dilahirkan di Gampông Kutabaro, Kecamatan Trumon, Aceh Selatan. Menurut catatan sejarah, Cut Ali masih keturunan raja. Kakeknya, Teuku Nyak Dhien, merupakan raja ke-VI yang pernah memimpin Kerajaan Trumon.
Jiwa humoris Cut Ali diakui Zentgraaft, seorang jurnalis Belanda, dalam bukunya “Aceh” (1983). Namun demikian, Ali memiliki semangat kuat dalam perlawanan terhadap Belanda. Zentgraaft sempat menulis, CutAli dan pasukan kecilnya adalah spirit tiada tara di belahan selatan.
Di samping humoris, ia juga dikenal suka menulis surat tantangan kepada Belanda. Isi suratnya berupa pesan singkat padat serupa telegram, seperti saya kutip di awal tulisan ini. Karena itu, ia hidup dalam masyarakat Aceh Selatan bagai obor di tengah kegelapan, menjadi spirit perjuangan berbasis masyarakat. Kendati sebagai mualim, pemimpin perjuangan, dan spirit perlawanan, menurut beberapa masyarakat Kluet, Cut Ali tidak pernah membunuh serdadu Belanda. Namun, ia sangat membenci Belanda. Hal ini seperti diakui seorang lelaki tua asal Kampung Sapik, Kecamatan Kluet Timur, Aso Iman, tatkala masih hidup beberapa tahun lalu. Menurut Iman, Cut Ali terus menerus memberikan spirit bagi pasukan muslimin Aceh untuk mengusir Belanda, terutama dari tanah Aceh Selatan, masa itu, tapi ia tidak pernah membunuh serdadu Belanda. Menurut cerita lisan masyarakat Kluet, Ali tidak membunuh serdadu Belanda, karena paham betul ungkapan seorang serdadu Belanda, “Kami ini knill, hidup menerima bayaran dari Belanda.”
Belanda kaphé memang lihai dalam politik adu-domba alias devide et empire. Tidak semua serdadu mereka dari Belanda. Kebanyakan serdadunya diambil dari masyarakat dan pemuda tanah yang sedang dijajah. Hanya para pemimpin saja yang diangkat dari kebangsaan Belanda. Politik mengadu orang-orang setanah air dan setempat kelahiran ini pernah pula dilakukan oleh Jakarta terhadap Aceh masa konflik lalu. Setelah direkrut polisi dan tentara dari Aceh dan Medan, para tentara/polisi itu ‘dilepaskan’ di Aceh untuk bertempur dengan pasukan GAM, yang imbasnya adalah masyarakat Aceh sendiri.
Selain itu, Belanda juga cukup mengenal watak sebagian ureueng Aceh yang suka berebut pada harta dan jabatan. Oleh karenanya, untuk meringkus Cut Ali dan pasukannya, Belanda menawarkan emas batangan kepada siapa saja yang mau menyerahkan Cut Ali. Hal ini dilakukan Belanda setelah merasa sia-sia main paksa. Belanda menawarkan emas dan kedudukan layak kepada siapa saja, meskipun sekadar menunjukkan(!--more--) tempat persembunyian Cut Ali.
Mendengar tawaran menggiurkan, seorang warga kala itu memberikan ‘kode alam’ arah lokasi persembunyian Cut Ali. Saat itu, si lelaki sedang makan tebu. Ia keluar dari kerumunan warga, lalu menjatuhkan ampas tebu sisa ia makan. Ampas tebu yang jatuh ke tanah itu menunjuk ke arah bukit Lawesawah, Kecamatan Kluet Timur (dulu Kecamatan Kluet Selatan). Ampas tebu itu diikuti oleh serdadu Belanda. Sahdan, Belanda menemukan persembunyian Cut Ali di bukit tersebut, jauh ke pelosok melewati Lawesawah. Orang-orang Kluet menyebut tempat itu dengan “Alur Beberang”. Di sana Ali, istri, dan empat orang yang setia pada Ali ditemukan Belanda. Keenam orang itu ditembak mati oleh serdadu Belanda. Para serdadu kemudian menguburkan keenam orang tesebut. Sampai saat ini, menurut sebagian masyarakat Kluet, masih terdapat enam kuburan di bukit Alur Beberang. Berkembang pula kabar, kubur itu selalu terang seperti ada yang merawatnya. Padahal, lokasi tersebut jauh dari perkampungan penduduk.
Khusus Cut Ali, sebelum dikubur, ia terlebih dahulu disembelih. Kepalanya dibawa serdadu Belanda sebagai bukti. Namun, hal ini diketahui oleh masyarakat kala itu sehingga menuntut para serdadu menguburkan kepala Cut Ali semana layaknya. Akhirnya, dibuatlah resepsi pemakaman. Kepala dan badan Cut Ali seakan dikuburkan di Suakbakong, Kandang, Kluet Selatan. Sampai saat ini kubur tersebut masih ada, dekat kuala. Menurut Iman, yang dikuburkan di Suakbakong itu bukan kepala Cut Ali, melainkan buah kelapa yang sudah dibolongi tupai. Masyarakat ditipu kala itu. Menurut orang tua ini, kepala Cut Ali dibawa oleh Belanda dan di-mumi-kan di sebuah museum. Tentu saja kabar ini menarik perhatian kita, terutama para penggali sejarah pahlawan Aceh. Saya sendiri belum tahu pasti di meseum mana kepala Cut Ali dimumikan, jika memang benar ia disembelih. Sejarah memang harus digali dan dirawat ulang. Wallahualam! [Sudah dimuat di Serambi Indonesia, 19 September 2010]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar